Tegar ...

Posted On 7/09/2009 11:20:00 AM by achankoe |

Oh Tuhan Yang Maha Kuasa, apalah kesalahan hamba hingga membuat Dea begitu benci padaku?” keluh Aisyah dalam doanya ketika shalat tahajud. Terbayang seketika dalam benak Aisyah bagaimana perlakuan Dea selama ini padanya.

Ais ingat kejadian kemarin, Ais terlambat sampai di sekolah karena banjir melanda jalan-jalan menuju sekolah apalagi Ais tinggal di daerah kumuh. Tiba di kelas, ternyata pelajaran sudah lima menit dimulai. Rupanya Ibu Sri yang terkenal disiplin dan “killer” maklum keadaan Ais, Ibu Sri hanya bergumam mengijinkan ketika Aisyah minta ijin masuk kelas.Ketika Aisyah melalui Dea, “Kasihan banget deh jadi orang miskin!” sindir Dea pada Ais sambil memanyunkan kedua bibirnya. Aisyah hanya diam dan beristighfar banyak-banyak dalam hati untuk menenangkan hatinya.

Begitu Aisyah mendaratkan tubuhnya ke bangku, Dita teman sebangkunya langsung menyodorkan tissue pada Aisyah untuk mengeringkan keringatnya yang kini mulai membasahi jilbab putihnya.

“Sabarlah Ais, biar Allah yang balas sikap buruk Dea selama ini terhadapmu”, hibur Dita yang diiringi anggukan kepala Aisyah.

“Oh Tuhan Yang Maha Segalanya, sabarkanlah hati hamba …..”, doa Aisyah dalam hati begitu memasuki gerbang SMU 1 Tarakan dimana sekarang ia menimba ilmu. Aisyah semakin hari semakin gerah berada di dalam kelas karena Dea. “Nah itu dia ….., apa lagi yang akan diucapkan Dea pagi ini?”, tanya Ais dalam hati.

“Pasti acara study tour minggu depan bakalan asyik!”, kata Dea pada teman-teman se-“genk”-nya.

“Kasihan ….. cuma kita-kita aja yang mampu bisa ikut ……” kata Dea lagi ketika Aisyah berlalu dihadapannya.

Aisyah tahu bahwa kata-kata Dea barusan adalah untuk menyindirnya karena cuma dia yang tidak ikut acara study tour ke kota gudeg minggu depan. Aisyah tahu diri bahwa dia hanya anak seorang buruh kasar jadi tidak mungkin memaksakan diri untuk ikut.

Aisyah duduk termenung di teras rumahnya sambil memandangi tumpukan sampah tak jauh darinya. Bagi Aisyah itu adalah pemandangan yang biasa jadi ia tidak merasa jijik sedikit pun. Asiyah mencoba mengulang kembali ingatan-ingatannya, awal dari kebencian Dea padanya.

Aisyah ingat ketika itu, saat pertama kali dihimpun satu kelas oleh pihak sekolah bersama Dea. Aisyah ingat Dea tak pernah bersikap bersahabat padanya meskipun hanya sekali. Awalnya Dea hanya bersikap acuh, tak pernah menegur Ais apalagi senyum pada Ais, namun setelah Cawu I berlalu Dea semakin kelihatan benci pada Aisyah. Ais tidak tahu pasti penyebab kebencian Dea padanya, tetapi menurut Dita yang pernah sekelas dengan Dea di kelas 1 dan 2, Dea membencinya karena merasa disaingi oleh Ais. Dea memang beruntung, orang tuanya kaya raya, otaknya cemerlang, tubuhnya langsing semampai dan cantik rupanya, tapi apalah yang dimiliki seorang Ais dibanding Dea.

Memang untuk urusan otak Ais lebih pintar dari Dea, sejak kelas 1 Ais selalu menempati juara umum baru Dea. Aisyah dengan jilbabnya berpenampilan sederhana, wajahnya yang manis dan kulitnya bersih siapapun akan tidak jemu memandanginya.

Seharusnya jalan apa yang terbaik menghadapi Dea tanya Ais pada dirinya sendiri. Lalu ….. Ais ingat pesan bapak semalam, meskipun orang berbuat jahat pada kita usahakan kita balas dengan kebaikan seperti contoh dari Nabi. Kemudian sebuah senyum manis mengulas di bibir Aisyah, aku harus berbuat baik pada Dea apapun yang terjadi tekad Ais dalam hati.

“Assalaamu’alaikum …..”, sapa Ais ketika berpapasan dengan Dea di pintu kelas. Dea agak terkejut disapa begitu, sambil menatap Ais Dea hanya melengos dan pergi begitu saja.

“Sudah bikin pe-er Dea?”,tanya Ais saat melewati bangku Dea.
“Apa urusan kamu!”, semprot Dea tanpa diduga.
“Cuma nanya ajak kok”, jawab Ais kalem dan berlalu pergi.
“Hei, buat apa kami negur Dea?”, tanya Dita pada Ais dengan kesal.
“Biarin aja Dit, kalau aku balas Dea dengan membencinya juga apa bedanya aku dengan Dea? Kan orang yang dijahati tapi membalasnya dengan kebaikan jauh lebih mulia dari orang yang jahat tersebut”, jelas Ais pada Dita yang hanya diam mememdam kekesalan. Dita nggak rela kalau sahabatnya dianggap remeh orang lain, tetapi Aisyah memang berjiwa besar, dia tidak pernah membalas perlakuan Dea meskipun hanya menunjukkan ketidaksukaannya pada Dea.

“Seandainya aku yang jadi Ais tentu sudah ku balas perlakuan Dea sejak dulu”, demikian Dita menggumam sendiri.

Hampir sebulan ini Ais bersikap baik padanya, apa ya … maksud Ais? Dea jadi penasaran. Dea terus berpikir …. Lalu muncul pikiran-pikiran yang sangat buruk.

Mungkin Ais ingin bersahabat dengannya kan Dea orang kaya dan masih banyak kemungkinan-kemingkinan lainnya. Kalau memang Ais bermaksud berteman dengannya Dea benar-benar nggak sudi karena setiap memandang wajah Ais maka hatinya akan terasa sangat keki, marah, kesal, dan benci. Papa menjanjikan Mercy kalau Cawu kemarin Dea juara umum dan mama menjanjikan keliling Eropa. Semua itu tinggal mimpi ….. ah …. bagaimana cara mengalahkan Aisyah?!!!.

Dea terus berpikir sampai akhirnya dia menemukan cara yang tepat. Awalnya Dea ragu dengan cara tersebut karena menurutnya terlalu jahat tapi hawa nafsunya telah dikuasi iblis dan Dea pun memutuskan untuk segera melaksanakan ide jahatnya untuk menyingkirkan Aisyah.

“De, sebenarnya apa salah Aisyah padamu sampai kamu begitu membencinya?”, tanya Hani teman segenk Dea ketika Dea menceritakan idenya semalam.
“Iya De, salah Ais apa?, kurasa ide kamu kelewatan deh ya …”, Melly meimpali sambil memandangi wajah-wajah temannya satu per satu seolah-olah minta persetujuan.

Tiba-tiba Dea memggebrak meja sambil berdiri berkacak pinggang …..
“Hei!! Kalau kalian takut ya udah, nggak usah pake’ nanya-nanya segala!”, ujar Dea marah yang tentu saja mengundang perhatian seisi kantin.
“Duduk dulu gih … De, tuh diliatin orang. Dengar dulu De ….., bukan kami nggak mau nolong kamu dan lagian siapa yang takut”, kata Hani menenangkan seraya memegang tangan Dea.
“Segitu aja udah emosi De, masak nanya dilarang sih? Kami cuma heran, kalo’ emang kamu sebel ama Ais nggak level De, dia ngga ada apa-apanya dengan kita ya nggak?”, Melly menambahkan yang disambut anggukan Heni tanda setuju.
“Pokoknya kalian nggak perlu tau deh, yang penting kalian bantu aku titik!”, Dea tetap tidak mau menceritakan hal sebenarnya pada Hani dan Melly.
“Ya udah kalo’ gitu, kapan rencana itu kita mulai?”, akhirnya Hani menyerah.
“Nah … gitu dong! Namanya sohib harus setia kawan. Kalo’ bisa kita mulai besok oke?”, kata Dea mulai bersemangat.
“Oke deh!”, jawab kedua sohibnya serempak.

Aisyah melangkah lunglai, kepalanya tertunduk menyembunyikan wajahnya yang memerah dan matanya yang menahan air mata, sewaktu Aisyah keluar dari ruangan kepala sekolah. Ais bingung, malu, dan marah ketika ditanya kepala sekolah barusan tentang hubungannya dengan Imam. Ais hanya menunduk selama di ruang kepsek dan diam membisu. Ais bingung dengan kejadian ini, Ais tak pernah merasa menjalin hubungan dengan laki-laki manapun apalagi dengan Imam.

Ah, apakah seseorang telah memfitnahnya? tanya Ais dalam hati. Aisyah tahu dengan apa sanksinya jika melanggar peraturan yang baru diberlakukan enam bulan lalu untuk mengatasi masalah siswi yang hamil ketika akhir Cawu kelas 3. Aisyah malu pada teman-temannya yang seakan-akan ikut menuduhnya. Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Tahu, oleh itu tunjukkanlah ya Allah ….. seraya mengusap pipinya yang basah Ais mengakhiri doanya ditengah malam yang dingin nan sepi.

“Sabar ya nduk, jangan putus asa dari rahmat Allah, percaya saja yang benar pasti menang, pokoknya ingat pesan Nabi kita jangan membalas kejahatan dengan kejahatan. Bapak dan ibumu percaya dan yakin kalau kamu bisa bersabar menghadapi masalah ini, sing tegar ya nduk …..”, ujar bapak bijak.

“Doakan Ais ya pak juga ibu. Doa orang tua tidak akan ditolak Allah …..”, kata Aisyah sambil tersenyum melihat anggukan kepala kedua orang tuanya.
Aisyah melihat Dea dan teman-temannya tertawa riang di pojok kelas, dasar tukang rumpi! rutuk Ais dalam hati.

“Percuma aja dong pake’ jilbab kalo’ cuma topeng!”, kata Dea sedikit dibuat keras agar terdengar sekelas.

Semua pasang mata memandangi Ais lekat-lekat tapi sungguh di luar dugaan Dea dan teman-temannya melihat sikap sabar dan tegar yang ditunjukkan oleh Aisyah. Asiyah bersikap santun dan tetap ramah seperti dulu dalam menghadapi tatapan sinis, pertanyaan-pertanyaan menyudutkan sampai cemoohan terhadap dirinya. Tak ada yang berubah dalam diri Ais.

“Aku percaya kok Ais, kamu nggak seperti yang diomongin orang-orang”, kata Dita seraya menggenggam tangan Aisyah.
“Makasih Dita, kamu masih percaya padaku, kamu memang sahabatku yang baik”, puji Aisyah tulus.
“Gimana sekarang, udah selesai masalahnya?”, tanya Dita kemudian.
“Kepsek memberi peringatan pertama’, jawab Aisyah datar.
“Siapa ya Ais yang begitu tega memfitnah kamu dengan Imam? Kamu aja nggak kenal dengan cowok yang namanya Imam” kata Dita tak mengerti.
“Entahlah Dit …..”, ujar Aisyah sambil mengangkat bahu.

Aisyah menimang-nimang surat dari kepala sekolah untuk orang tuanya, peringatan kedua. Ais sungguh tak mengerti siapa yang begitu tega menyebarkan fitnah bahwa dia masih menjalin hubungan dengan Imam, hubungan yang tak pernah ada.

Barusan Aisyah dan Imam disidang oleh Kepala sekolah tentang hubungan mereka, tentu saja mereka menyangkal berita tersebut, tetapi Kepala sekolah seakan-akan tidak mempercayainya karena bukti telah ada di tangannya. Akhirnya Aisyah dan Imam tak bisa berbuat apa-apa lagi selain diam mendengar ceramah Kepala sekolah.

Sewaktu keluar dari ruangan Kepala sekolah, Aisyah menawarkan musyawarah pada Imam untuk menyelesaikan masalah ini untuk menghindari hal-hal yang lebih buruk lagi terjadi. Akhirnya diputuskan, musyawarah tersebut dilakukan di rumah Aisyah ditemani oleh Dita dan kedua orang tua Aisyah.

“Pertama-tama yang harus kita lakukan adalah mencari tahu siapa dalang dibalik fitnah ini!”, kata Imam mengawali pertemuan sore itu.
“Iya, menurutku juga demikian”, sahut Aisyah.
“Orang yang tega berbuat jahat pada kita biasanya orang yang membenci kita. Coba kalian pikirkan apa ada orang yang benci pada kalian?”, tanya Bapak pada Aisyah dan Imam.
“Dea!”, seru Dita tiba-tiba seraya memandang Aisyah.
“Kalau saya tidak ada …”, kata Imam yakin.
“Bisa jadi Dea pak, soalnya cuma dia yang benci setengah mati pada Ais”, kata membenarkan dugaan Dita.

“Pernah dua minggu yang lalu Dea ke rumah saya untuk meminjam buku catatan kimia saya, padahal setahu saya Dea tak pernah meminjam buku siapa pun, dia mempunyai buku-buku pelajaran yang lengkap. Saya sempat heran juga dengan kedatangannya karena meskipun bersebelahan rumah dan satu sekolah tak pernah Dea menyapa saya walaupun hanya tersenyum”, jelas Imam panjang lebar.

Semua yang hadir diam sejenak ………………………
”Apakah Dea setega itu, meniru tulisan saya untuk menulis surat cinta pada Aisyah”, tanya Imam setengan ragu dengan analisanya.
“Kemungkinan besar Dea yang melakukannya”, ucap Aisyah datar.
“Nah, sekarang kita coba dulu menyelidikinya, tetapi jangan menuduh dulu dan jangan berburuk sangka pada Dea. Siapa tahu bukan dia”, usul Bapak bijak.

Sore itu, Imam dan Pak Giman tukang kebun keluarga Dea sedang mengobrol di halaman samping sambil membakar sampah. Ditengah keasyikan Imam dan Pak Giman datanglah Bi Sumi pembantu rumah keluarga Dea membawa sekeranjang sampah-sampah kertas untuk dibakar. Ketika Pak Giman hendak melemparkan kertas-kertas itu ke dalam api, Imam mencegahnya karena dia melihat ada sesuatu yang aneh pada kertas-kertas itu. Pak Giman memberikannya pada Imam, Imam tersentak kaget demi memandangi tulisan-tulisan di atas kertas itu yang tak lain dan tak bukan adalah tulisannya, tetapi Imam merasa tak pernah menulis di kertas-kertas cantik berwarna pink lembut yang kini ada di tangannya. Imam meminta kertas-kertas itu pada Pak Giman dan meminta Pak Giman agar tak menceritakannya pada Dea.

Di dalam kamar Imam sibuk meneliti kertas-kertas itu satu per satu.

“Apakah ini surat-surat yang dikirim Dea pada Kepala sekolah untuk memfitnah aku dan Aisyah”, tanya Imam pada dirinya sendiri sambil menatapi surat-surat yang tak selesai itu karena salah tulis. Ternyata buku yang dipinjam Dea adalah untuk meniru tulisannya tapi mengapa aku yang Dea pilih untuk dijadikan bahan fitnah dengan Aisyah. Imam benar-benar tak habis pikir, kasihan Aisyah kalau sampai dikeluarkan dari sekolah.

Mata Aisyah berkaca-kaca menatapi kertas-kertas pink lembut yang diberikan oleh Imam. Sebenarnya Ais berharap bukan Dea orang yang memfitnahnya, tetapi kenyataannya sungguh membuat Ais bersedih, “Apa salahku padamu Dea?”, ucap Aisyah lirih.
“Sudahlah Ais, mari kita temui Dea untuk memperjelas masalah ini sekaligus menyelesaikannya”, usul Imam kemudian. Namun sesampainya di rumah Dea dengan alasan yang tidak jelas Bi Sumi mengatakan bahwa Dea tidak mau menemui mereka. Akhirnya mereka pulang membawa seribu kedongkolan dan tanda tanya.

Perlahan-lahan Aisyah membuka pintu bernomor 24 setelah bertanya pada perawat jaga. Dilihatnya sebuah tubuh tergolek lemah terbaring di atas kasur berwarna biru langit. Didekatinya Dea yang kini sedang tertidur memejamkan mata cekungnya. Kasihan Dea, wajahnya yang cantik kini berubah pucat dan bibirnya membiru, tubuhnya pun sangat kurus, tangannya yang ceking dililit selang infus. Dea benar-benar menderita rupanya. Dea terjaga karena merasa ada yang memperhatikannya. Ditatapnya wajah Ais yang mengulas senyum, sesaat kemudian dipejamkannya kembali kedua matanya.

“Untuk apa kamu datang Ais?”, tanya dea datar.
“Apakah aku tidak boleh menjenguk kamu Dea? Kitakan teman sekelas Dea ….”, sahut Ais lembut.
“Ku kira kamu datang hanya ingin menertawai keadaanku …..”, ucap Dea lagi.
“Astaghfirullaah, jangan berpikir seburuk itu Dea. Niatku Insya Allah benar-benar tulus kok”, kata Aisyah terus meyakinkan.
Tiba-tiba suasana hening …………….
“Bagaimana keadaanmu Dea?”, tanya Aisyah memecah kesunyian.
“Pulanglah Ais, aku ingin sendiri ….”, kata Dea kemudian.
Aisyah berdiri perlahan dan menyelipkan sekuntum anggrek yang sejak tadi ada di tangannya, diantara bunga-bunga mawar merah yang terletak di dalam vas tak jauh dari Dea.
“Aku pulang dulu Dea, semoga cepat sembuh. Assalaamu’alaikum ….”, pamit Aisyah pada Dea yang masih terpejam.

Ini adalah untuk yang kelima kalinya Aisyah memijakkan kakinya di kamar rawat Dea. Meskipun Dea tak pernah menerima kedatangannya tetapi Aisyah tak pernah menyerah. Suatu saat nanti Dea pasti menerimanya, begitu pikir Aisyah.
“Apakah kamu nggak bosan datang Ais? Atau kamu nggak ngerti kalo’ diusir secara halus?!!”, tanya Dea kasar wajah Ais muncul dibalik pintu. Aisyah tertegun dengan sambutan Dea kali ini. Aisyah bingung terus masuk atau pulang, namun akhirnya Aisyah masuk mendekati Dea.

“Maafkan aku Dea bila mengganggumu ….”, kata Aisyah tertunduk.
“Aku sampai saat ini sungguh nggak mengerti mengapa kamu begitu membenciku, katakan Dea apa salahku padamu? Katakanlah sejujurnya Dea ….. mengapa? Sampai kamu tega memfitnahku dengan Imam?”, ucap Asiyah sambil sesegukan menatap wajah kaget Dea.
“Dari mana kamu tahu Ais?”, tanya Dea terkejut.
“Apakah dari Hani atau Melly?”, tanya Dea penasaran. Aisyah hanya menggeleng.
“Aku pulang Dea, …. Assalaamu’alaikum …” kata Aisyah sambil berlalu menjauh.
Ketika tangan Aisyah menyentuh handle pintu ……….
“Aisyah !”, panggil Dea tiba-tiba.
Aisyah berhenti kemudian menoleh pada Dea di sudut kamar.
“Maafkan aku Ais …..”, kata Dea pelan dan datar.

Aisyah tak dapat menyembunyikan keterkejutannya sekaligus tampak kegembiraan pada wajahnya apalagi setelah dilihat tangan Dea yang mengisyaratkannya untuk mendekat.
“Maafkan aku Ais, atas sikap burukku selama ini. Sebenarnya aku malu padamu, meskipun kamu kuperlakukan buruk tetapi kamu sekalipun tak pernah membalasnya ……”, kata Dea begitu Aisyah mendekat dan menyambut uluran tangannya.
“Sama-sama Dea …..”, kata Aisyah tenang.

Suasana puun berubah haru. Inilah pertama kalinya Aisyah melihat senyum Dea untuknya. Ternyata Dea tetap terlihat cantik walaupun wajahnya kuyu dan pucat.
Semakin hari Aisyah semakin sering mengunjungi Dea yang kini telah genap tiga bulan dirawat. Aisyah sendiri tidak tahu apa sebenarnya penyakit yang sedang menggerogoti tubuh Dea. Aisyah takut menyinggung perasaan Dea apabila menanyakan perihal penyakitnya itu. Yang sangat mengherankan Ais, selama dia menemani Dea di rumah sakit baru sekali dia bertemu dengan kedua orang tua Dea. Kasihan Dea, disaat dia berjuang melawan penyakitnya tetapi tidak ada dukungan dan perhatian dari kedua orang tuanya.

“Aisyah, makasih banyak atas kebaikanmu selama ini. Dari sekian banyak teman-temanku nggak ada satu pun yang memperhatikan aku kecuali menjengukku tak lebih dari satu kali”, kata Dea di suatu pagi yang sejuk. Ais hanya diam mendengarkan.
“Orang tuaku pun hanya beberapa kali menemaniku. Mereka lebih sayang pada bisnis mereka dari pada aku …..”, kata Dea lagi. Kali ini mata Dea nampak berkaca-kaca, Aisyah kasihan melihatnya.

“Sudahlah Dea, jangan bersedih kan ada Allah ….”, hibur Aisyah.
“Syukurlah ada kamu yang masih setia menemaniku”, puji Dea.
“Itu sudah kewajibanku sebagai seorang sahabat”, ucap Aisyah merendah.
“Ais ….. barusan dokter memberitahukan hasil perawatanku selama tiga bulan ini”, kata Dea tak bersemangat. Aisyah hanya diam memendangi Dea.
“Kanker telah menyebar keseluruh rahimku …..’, ucap Dea pelan. Aisyah terperanjat mendengar penuturan Dea barusan. Oh … kanker yang mengerikan,
“Dan dokter memperkirakan usiaku tak lebih dari 240 jam, karena setiap saat kanker terus bekerja merusak rahimku dan akhirnya akan ……”. Dea diam tak melanjutkan kalimatnya. Matanya menerawang, hampa, sedih, dan pasrah.
“Jangan putus asa Dea, usia manusia bukan di tangan dokter, obat-obatan, peralatan medis yang super canggih sekalipun tapi di tangan Allah Yang Maha Kuasa”, Aisyah menenangkan Dea.

Pagi ini terasa damai dalam hati Dea. Barulah dia merasakan kenyamanan paviliun yang selama tiga bulan lebih ini dihuninya. Suasana syahdu dengan alunan-alunan nasyid “munajatku” milik Nada Murni yang dihadiahkan Aisyah kemarin.
“Assalaamu’alaikum …..”, terdengar suara Aisyah di balik pintu yang setengah terbuka.
“Wa’alaikum salaam …”, jawab Dea senang. Ah, Ais tak ada orang sebaik kamu padaku. Mata Dea terus melekat pada Aisyah yang mengenakan setelan baju berbunga-bunga kecil di tambah jilbab hijau muda. Dea kagum pada Aisyah.
“Ini ada hadiah dari uang patungan teman-teman sekelas. Mudah-mudahan kamu senang dan nggak tersinggung”, kata Aisyah sambil menyerahkan bingkisan yang dibungkus rapi. Dea terlihat sangat bahagia saat menerima bungkusan dari tangan Aisyah tanpa banyak bicara Dea membukanya tak sabar.

Penglihatan Dea segera mengabur menatapi bungkusan dari teman-temannya. Sebuah jilbab putih apel penuh bordir cantik di tepi-tepi kainnya dan sebuah mushaf kecil berwarna coklat tua.
“Hadiah ini adalah ideku Dea …., kuharap kamu nggak marah”, ujar Aisyah lirih.
“Terima kasih ya Allah ….. Engkau kirimkan seorang sahabat yang sangat mencintaiku ….”, Dea berkata dalam hatinya sambil memandang ke atas seolah-olah dia melihat langsung Dzat Yang Maha Agung. Pandangannya beralih pada Aisyah kemudian menatap bunga-bunga yang tumbuh di pinggit jendela kamar.
“Ais, orang tuaku nggak pernah mengajari aku membaca Al Quran …….”, ujar Dea tersendat-sendat.
“Aku akan mengajarimu Dea”, tawar Aisyah.
“Terima kasih Ais ….”, ucap Dea senang.

Mulailah Dea belajar membaca Al Quran pada Aisyah sampai-sampai Dea lupa sepuluh hari yang telah diperkirakan dokter telah berlalu dua hari. Selama dua belas hari ini Dea sudah bisa membaca surat Al Baqarah beberapa ayat permulaan walaupun terbata-terbata dan belum terlalu fasih.

Dea sangat bersyukur karena akhirnya dia mampu membaca Al Quran. Apalagi sudah satu minggu ini jilbab dari Aisyah sudah dikenakannya. Rasanya Dea lebih siap menghadap-Nya meskipun amal ibadahnya jauh dari yang ditetapkan syariat.

Butiran-butiran bening berjatuhan di atas sajadah saat Dea sujud di tengah malam yang sunyi dan dingin. “Ya Allah, ijinkanlah hamba terus bersujud pada-Mu”,.
Aisyah memperpanjang langkahnya saat dilihatnya dari kejauhan dokter dan perawat sibuk keluar masuk dari kamar Dea. Ya Allah selamatkanlah Dea. Begitu tiba di depan pintu kamar Dea, beberapa orang perawat membawa tubuh Dea di atas kasur dorong. Selang-selang infus dipasang ditangannya padahal sudah dua minggu Dea bebas dari tusukan jarum infus. Wajahnya memucat, bibirnya memutih kelihatannya Dea sangat menderita.

Aisyah menghampiri seorang perawat yang mengurusi Dea.
“Semalam Dea pingsan di atas sajadah. Mulutnya mengeluarkan darah”, jelas perawat itu. Ah ….. kasihan Dea semoga dia baik-baik saja.

Dipandanginya wajah dan tubuh Dea dari balik ruang kaca ICU. Tak jauh dari Aisyah ada kedua orang tua Dea yang sibuk menerima panggilan rekan bisnisnya via HP.
“Keterlaluan!”, pikir Aisyah, nyawa Dea sedang terancam kanker pun mereka masih bisa tertawa dan berkata-kata manis dengan relasi mereka di HP.

“Wajar toh nak Ais, Bapak dan Ibu ndak perhatian sama Neng Dea, wong bibi sendiri pernah dengar kok Bapak bilang sama Neng Dea kalau Neng Dea bukan anak kandung Bapak sama Ibu. Kasihan sama Neng Dea …..”, jelas Bi Sumi suatu sore, ketika Aisyah berkunjung ke rumah Dea untuk menyampaikan pesan Dea untuk kedua orang tuanya.
“Tolong ya … nak Ais, jagain Dea, Bapak dan Ibu ada urusan penting dan malam ini kami sudah harus berada di Hongkong”, pinta Papa Dea pada Aisyah dan kemudian segera pergi. Aisyah memandangi punggung papa dan mama Dea yang kemudian menghilang di ujung gang ruang Melati.

Sudah banyak harta benda yang mereka timbun di bank-bank luar negeri. Apakah masih kurang harta sebanyak itu yang tidak akan habis dimakan tujuh turunan namun tak menjamin kebahagiaan dunia dan akherat.

Dea membuka matanya perlahan-lahan dan kahirnya Dea sadar dari komanya selama seminggu. Selama seminggu pula Aisyah menyempatkan waktunya di sela-sela kesibukannya menghadapi ujian akhir untuk menjenguk Dea di rumah sakit. Selama seminggu juga Aisyah shalat tahajjud dari tengah malam sampai mnjelang shubuh, memohon pada Yang Maha Kuasa untuk kesembuhan Dea.

Tanpa terasa mata Aisyah basah, menangis bahagia demi melihat tangan Dea bergerak diikuti matanya yang cekung terbuka. Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa.
“Dea ………” panggil Aisyah sambil menyentuh lengan Dea lembut. Dilihatnya senyum terukir di bibir Dea. Manis sekali serta terlihat wajah Dea begitu damai dan tenang.
“Dea, sebutlah asma Alah …..”, ujar Aisyah sambil menuntun Dea mengucapkan Laa Ilaaha Illallah. Sekali dua kali Dea hanya diam mendengarkan ucapan Aisyah, namun kemudian barulah Dea mengikutinya meski masih terputus-putus. Untuk terakhir kalinya Aisyah menuntun Dea dan diikuti suara Dea menyebut kalimat tauhid dengan jelas dan tenang. Sesaat kemudian sebuah senyum bahagia menghiasi wajah Dea.

Tiiiiiiiiiiiiiiiiiit ……. Terdengar dari monitor yang selama ini dijadikan penunjuk nadi Dea. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roji’un.



Salam hormat untuk Bapak dan Ibu
Di Jakarta dan Tarakan
Salam kasih untuk suamiku tercinta
| edit post
0 Response to 'Tegar ...'