Ikhwan ... Oh ... Ikhwan!

Posted On 7/09/2009 11:32:00 AM by achankoe |

Air mata membasahi wajah murung nan sedih, sesekali terdengar helaan nafas panjang dari hidungnya yang bangir.

Ini adalah yang ketiga kalinya aku menyaksikan pandangan yang sama. Kasihan sahabatku ... dia menangis tersedu-sedu, sudah tiga kali ia dipertemukan dengan Ikhwan untuk ber-ta’aruf, namun tiga kali pula ia kecewa dan terluka.

Semua Ikhwan yang ditemuinya menolaknya tanpa alasan yang syar’i. Bukan karena penolakan tersebut yang membuat ia menangis dan kecewa, tetapi alasan-alasan penolakan terhadap dirinya yang membuat ia terluka.Ikhwan pertama, menolaknya karena usianya lebih tua daripada Ikhwan tersebut.

Ikhwan kedua, menolaknya karena penampilannya kurang menarik dan Ikhwan ketiga, menolaknya karena wajahnya kurang jelita ..... astaghfirullaah ... Ikhwan-ikhwan picik! ... kemana akal sehat yang Allah SWT berikan padamu ?!!!... Tanpa terasa air mataku pun mengkristal dipelupuk mata, hadir sebentuk kebencian dalam hati entah ... untuk siapa?

Sebuah tangan menyentuh lenganku “Fida, afwan jika keadaanku membuatmu ikut bersedih”, suara lembut segera terdengar di telingaku. “Tidak Amah, aku tidak habis pikir ternyata ada juga Ikhwan yang picik! apakah mereka merasa diri mereka lebih baik dari yang lain? dimana pikiran waras mereka? apakah mereka hanya memilih yang muda, cantik, dan indah dengan dalih mengikuti sunnah nabi? mereka lupa Amah, istri-istri Rasulullah SAW bukan hanya A’isyah, Hafsah tapi ada Saudah yang telah tua dan kurang menarik! apakah mereka lupa?!!!”, tandasku berapi-api.

“Fida, jangan su’udzan gitu donk! tidak baik berbuat demikian”, dengan sabar Amah menenangkan aku. Betapa ruginya Ikhwan-ikhwan picik itu, mereka belum melihat ada yang lebih indah dan cantik yang ada pada sahabatku ini. Dia begitu penyabar dan penyayang.

“Entahlah Mah, aku rasanya tidak simpati lagi dengan Ikhwan, pengalaman yang berkali-kali kamu alami cukup sudah menjadi i’tibar bagiku. Mungkin aku lebih memilih sendiri daripada harus menanggung rasa hina dihadapan para Ikhwan”, ungkapku.

Amah memandangiku dengan tatapan tak percaya dan mulai menasehatiku dengan tenang “Fida yang manis, jangan berkata sepeti itu, bukalah dan jernihkan hatimu, jangan menyimpan dendam di dadamu dimana ia akan menjadikan hatimu keras dipenuhi dengan kebencian-kebencian. Berdoalah agar kejadian serupa ini tidak menimpamu”.

“Kita lihat saja nanti ..... “, tegasku dengan optimis.

Baru saja kulangkahkan kaki di halaman rumah, Ummi sudah menyambutku dengan senyuman yang tak pernah kulihat sebelumnya. Dari wajahnya tergambar dengan jelas bahwa Ummi sedang bahagia.

“Assalaamu’alaikum ...”, sapaku ketika tiba di teras rumah dihadapan Ummi sembari mencium tangan dan kedua pipinya.

“Wa’alaikum salaam ... anak Ummi”, Ummi menjawab salamku sembari memadangi wajahku lekat-lekat. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres.

“Aduh, anak Ummi sudah besar ya... cantik lagi”, puji Ummi sambil membelai wajahku dan kemudian membimbingku masuk ke rumah. Dan sesampainya di ruang tamu, aku lihat seorang Ikhwan kemudian baru kutahu dia adalah anak ibu Shifa, teman Ummi di majelis ta’lim.

“Dari mana nak Fida?”, tanya bu Shifa ramah.
“Dari kampus bu”, jawabku singkat.
“Ayo duduk dulu, kita ngobrol-ngobrol dulu ya nak fida’, pinta bu Shifa.
“Boleh”, kemudian aku duduk disebelah Ummi dan pandanganku menjurus pada ibu Shifa saja karena tak jauh darinya ada Ikhwan yang tidak lain adalah anaknya.

“Nak Fida kapan wisudanya?”, tanya bu Shifa menyelidik, dengan malas kujawab “Insya Allah, bulan depan Bu”, dan mulailah mengalir pertanyaan-pertanyaan dari ibu Shifa dari hal-hal yang besar sampai kemasalah kecil seperti “Nak Fida suka rasa pedas nggak?”.

Subhanallah ..... aku sudah mulai kesal dengan pertanyaan-pertanyaan yang kurasa tidak ada manfaatnya buat bu Shifa. Namun, akhirnya bu Shifa serta anaknya pamit pulang setelah satu jam lebih mewawancaraiku seperti layaknya wartawan senior.

Setelah shalat isya’, aku berniat melepaskan lelah di atas peraduanku, tapi baru semenit kubaringkan tubuhku tiba-tiba pintu kamarku diketuk Ummi. Dengan lesu kubuka pintu dan melihat Ummi masih saja menyimpan senyum seperti tadi sore.

“Fida, Ummi ingin bicara denganmu”, pinta Ummi dengan wajah serius.
“Boleh Mi, tapi Fida sambil tiduran ya, soalnya badan Fida rasanya mau copot deh Mi ...”, pintaku pada Ummi.

“Iya, sini dipangkuan Ummi biar Ummi pijitin kepala kamu”, perintah Ummi.
Sunyi sesaat ..................

“Fida, usiamu semakin bertambah bilangannya, kuliahmu pun sudah rampung, bagaimana kalau kamu segera menikah? Ummi kesepian Fida, setelah ditinggal Abimu, dirumah hanya kita berdua. Ummi ingin setelah menikah kamu tetap tinggal bersama Ummi dan juga suamimu dan bila kelak kamu melahirkan, Ummi ngga’ kesepian lagi ...”, jelas Ummi panjang lebar.

Tak sadar aku segera bangun dari pangkuan Ummi demi mendengar kata-kata Ummi barusan, seolah-olah aku tak percaya dengan pendengaranku, aku hanya bisa membisu untuk beberapa saat namun akhirnya keluar juga suara dari mulutku.

“Fida belum memikirkannya Mi .....”, kataku sambil tertunduk kebingungan.
“Lagi pula Fida ingin bekerja, sudah cukup Ummi bekerja berat untuk Fida dan sekarang giliran Fida membahagiakan Ummi”, lanjutku lagi.

Ummi terus membujukku agar mau menikah dan rupa-rupanya tamu yang datang sore tadi bukan sekedar bersilaturrahmi, tetapi dalam rangka ta’aruf di luar sepengetahuanku karena Ummi tidak langsung memberitahuku.

Disaat hatiku tercabik-cabik dengan kebencian pada Ikhwan, dengan semangatnya Ummi terus berpromosi tentang Ikhwan yang ingin dijodohkan denganku.
“Fida, kamu bakalan menyesal kalau sampai menolaknya. Dia masih muda, tampan, sarjana, ada pekerjaan tetap, dari keluarga terhormat ..... “ tegas Ummi demi meyakinkanku.

Sementara Ummi sibuk berceloteh, aku berfikir bagaimana menolak keinginan Ummi tanpa menyakiti hatinya. Aku terus berfikir sampai-sampai tak mendengar dengan jelas pembicaraan Ummi.

Kupandangi embun yang jatuh ke bumi dari daun-daun hijau pepohonan. Begitu segar pagi ini. Kemudian teringat dalam benakku tentang kejadian kemarin sore dan semalam. Aku bingung, entah bagaimana harus bersikap, tetapi yang jelas aku tidak tertarik untuk menikah. Rasanya apa tidak salah kengototanku untuk tidak menikah? Bagaimanapun aku tidak bisa mendustai kata hatiku, namun bila teringat kejadian-kejadian yang menimpa sahabat-sahabatku membuatku jadi mengurungkan niat untuk melaksanakan sunnah nabi yang satu ini.

Kembali tergambar didepan mataku wajah Amah, Nisa, Asha, Qanitah, dan Hanifah. Mereka adalah aktivis-aktivis da’wah yang memiliki akhlaq yang baik, kualitas sebagai muslimah sejati tidak diragukan lagi, tetapi sangat disesalkan hanya karena kekurangan-kekurangan yang tidak syar’i membuat Ikhwan-ikhwan enggan menyuntingnya.

Lamat-lamat terdengar suara Ummi memanggilku, segera kugegaskan kakiku ke luar kamar dan menuju ruang makan dimana Ummi sedang menunggu di meja makan.
“Tidur lagi ya Fid ... ?” tanya Ummi begitu melihatku.
“Ngga’ kok Mi ..., afwan ya Mi, Fida ngga’ bantuin Ummi di dapur”, kataku merasa sedikit bersalah.
“Sudah tidak apa-apa, yuk kita santap sarapan pagi ini!”, ajak Ummi setelah membereskan meja makan, Ummi mengajakku duduk-duduk santai di taman. Aku tahu, beliau pasti ingin mengetahui keputusanku tentang masalah semalam.

Benar saja, begitu duduk di kursi taman Ummi langsung menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaannya.

“Bagaimana sayang, sudah kamu pikirkan? atau masih bingung? apa yang dibingungkan? sudah shalat Istikharah? kamu suka ngga’ sih dengan anak bu Shifa itu? bagaimana menurut kamu tentang dia? lho kok diam aja?”, tanya Ummi sambil menyelidik.

“Subhanallah Mi, panjang sekali pertanyaan Ummi sampai-sampai Fida ngga’ ingat lagi. Lagian gimana mau menjawab lha ya Ummi nanya terus sih!”, kataku sambil geleng-geleng kepala.

“He ... he ... he ... afwan deh Fid ...’, kilah Ummi.
“Ummi kok lucu! sepertinya maksain Fida dengan anak bu Shifa itu, sedangkan Ummi belum tau apakah dia suka dengan Fida atau ngga’”, tegasku.

Seolah Ummi tersadar dari kealpaannya, kemudian Ummi tertawa sambil menepuk dahinya “oh ... iya! Ummi kok bodoh ya Fid?”, aku Ummi.

Baru selesai kalimat Ummi barusan terdengar deringan telepon dari ruang tamu .....
“Terima dulu Fid teleponnya ya ...’, perintah Ummi padaku.
“Hallo, Assalaamu’laikum ....”, sapa Fida ramah.
“Wa’alaiku salaam ...’, jawab sebuah suara diseberang.
“Ini Fida ya? saya, Ibu Shifa ...”, ternyata dari bu Shifa
“Iya, saya Fida, mau bicara dengan Ummi? sebentar bu, saya panggilkan ....”, tawarkku pada bu Shifa.
“Boleh, Jazaakillaah ya nak Fida ... “, jawab bu Shifa.

Tak lama kemudian, terdengar gelak tawa Ummi yang sedang berbicara dengan bu Shifa. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, aku tidak tertarik mendengarnya. Aku memilih kembali ke taman sembari memandangi bunga-bungaan yang sengaja Ummi tanam. Ah ..... Ummi memang rajin.

“Ternyata benar perkiraan Ummi, bahwa dia pasti menyukaimu!”, tiba-tiba Ummi sudah duduk disampingku.
“Siapa yang Ummi maksud?”, tanyaku.
“Ya.. siapa lagi kalau bukan anak bu Shifa!”, jawab Ummi bersemangat.

Mendengar penjelasan Ummi aku hanya ber-oh saja.

“Kamu sendiri bagaimana sayang?”,tanya Ummi penuh harap.
‘Entahlah Mi, sepertinya saya belum siap sekarang ini, saya terlanjur kecewa dengan Ikhwan, pasalnya sahabat-sahabat saya di kampus sering dikecewakan tanpa alasan yang tepat .. “.

Kemudian mengalirlah cerita hal ihwal kebencianku terhadap Ikhwan-ikhwan. Lantas dengan bijak Ummi berkata di akhir ceritaku.

“Fida sayang, semua manusia menginginkan hal-hal yang baik. Begitu pula dengan Ikhwan-ikhwan tersebut, tetapi hal-hal yang dipandang baik itu relatif menurut individu yang memandangnya. Agama kita sudah mengatur bahwa setiap yang baik itu harus bersandar pada dienullah, Insya Allah itu yang membahagiakan kita. Tetapi yang jelas, Allah SWT akan pertemukan kita dengan orang-orang yang baik jika diri kita baik. Biarkan Ikhwan-ikhwan itu memilih dan memilih terus sehingga usianya dihabiskan hanya untuk menyeleksi kelebihan-kelebihan orang lain. Mereka lupa, mereka punya saudara perempuan, anak perempuan, bagaimana rasanya jika ahli keluarga mereka yang diperlakukan seperti itu. Fida, tidak semua Ikhwan berbuat demikian, buktinya menurut pengakuan anak bu Shifa dia tertarik dengan kamu karena busanamu dan akhlaqmu, bukan yang lain!, tetapi semua terserah Fida, Ummi tidak bisa memaksamu”, kata Ummi mengakhiri penjelasannya yang panjang lebar.

“Jazaakillah ya Mi, atas nasihatnya, Fida jadi sadar dengan kekeliruan Fida selama ini. Insya Allah Mi, Fida shalat Istikharah dulu baru Fida jawab ya Mi ...”, kataku sambil merangkul Ummi dan mencium pipinya.

Satu titik bening jatuh tepat di pipiku demi mendengar pelaksanaan ‘Ijab Qabul. Ya, hari ini aku resmi menjadi menantu ibu Shifa, menjadi istri seorang Ikhwan yang bernama Adam.

“Ya, Allah berkahilah pernikahan kami”, do’aku dalam hati.

Disampingku dengan suka cita Ummi menciumku tak lupa pula mendo’akan, dan hadir pula sahabat-sahabatku terkasih. Lengkap sudah kebahagiaanku hari ini, meskipun aku tidak menyaksikan secara langsung ‘Ijab Qabul karena terpisah ruangan.

Ketika memasuki acara istirahat, sahabat-sahabatku mulai mengerumuniku sambil memeluk dan menciumku, mereka terlihat begitu bahagia. Alhamdulillah, akhirnya mereka menemukan yang terbaik hasil pilihan Allah SWT.

Tiba-tiba tercetus ide briliant-ku “bagaimana kalau kita berdo’a untuk Ikhwan-ikhwan yang masih sendiri karena sibuk memilih!”, seruku yang disambut “setuju!!” para sahabatku.

Kemudian kami tertawa tergelak-gelak, seolah-olah menertawai Ikhwan-ikhwan yang egois.

Ikhwan oh ..... ikhwan, selamatkan muslimah karena Allah!.
| edit post
0 Response to 'Ikhwan ... Oh ... Ikhwan!'